Kejaksaan dinilai belum memiliki pemahaman yang baik mengenai masalah kontrak konstruksi. Dalam beberapa kasus, kejaksaan membawa sengketa kontrak konstruksi ke proses peradilan pidana.Dalam sengketa ini para pengusaha jaksa konstruksi diancam pasal KUHP atau tindak pidana korupsi.
Padahal kontrak adalah ranah hukum privat, yaitu hukum perdata, karena hanya melibatkan para pihak yang terikat kontrak. Ranah hukum privat memiliki mekanisme penyelesaian berbeda dengan hukum pidana. Karena itu, kejaksaan perlu memperbaiki mindset(cara pandang) dalam menyikapi kasus sengketa kontrak konstruksi. Masalahnya, pemahaman aparat kejaksaan, terutama di daerah, masih terbatas pada KUHP dan perundang-undangan tindak pidanakorupsi.
Pandangan itu datang dari ahli hukum Nindyo Pramono pada Diskusi Panel Kriminalisasi Kontrak Konstruksi di Jakarta, Senin (05/7). Menurut Prof. Nindyo, persoalan sengketa kontrak konstruksi lebih sering terjadi dalam bentuk wanprestasi kegagalan bangunan, baik yang dilakukan oleh penyedia jasa maupun pengguna jasa konstruksi.
Penyelesaian wanprestasi, kata profesor hukum bisnis Universitas Gajah Mada ini, adalah ketidaksesuaian pelaksanaan kontrak dengan kesepakatan yang tertuang. Penyelesaian sengketa biasanya selalu diatur dalam kontrak yang disepakati para pihak. “Kontrak kanjuga mengatur mekanisme penyelesaian sengketa,” katanya.
Karena itu, KUHP kurang tepat diterapkan untuk masalah ini.
Untuk penerapan pasal korupsi, Nindyo menyatakan ada akibat lanjutan yang muncul. Ia mencontohkan perusahaan swasta murni yang men-subkontrakkan pekerjaan konstruksi kepada perusahaan pemerintah (BUMN/BUMD). Jika terjadi wanprestasi, Kejaksaan cenderung menganggap hal itu memenuhi unsur merugikan keuangan negara. Padahal, hubungan antara kedua perusahaan itu murni bersifat keperdataan.
Karena itu, Nindyo mengharapkan masalah kontrak konstruksi dapat dijalankan sesuai mekanisme yang ada dalam kontrak.
Pendapat senada dikemukakan pakar hukum pidana Universitas Indonesia, Rudy Satrio Mukantardjo. Berbicara pada diskusi yang sama, Rudy mengatakan sebaiknya permasalahan sengketa kontrak konstruksi diselesaikan melalui jalur perdata saja. “Hormatilah kontrak yang ada,” harap Rudy.
Mengenai unsur kerugian negara, Rudy mengingatkan bahwa pasal 2 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga memiliki unsur melawan hukum. Dengan unsur ini, Kejaksaan harus dapat membuktikan bahwa kesalahan konstruksi memang disengaja. Jika tidak, maka pasal korupsi tidak dapat menjerat pelaku jasa konstruksi.
Rudy juga menyebut UU No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi mengandung kesalahan konsep. Permasalahan sengketa kontrak diatur dengan ranah perdata dan pidana sekaligus. Terdapat pasal mengenai tata cara penyelesaian sengketa kontrak secara perdata. Namun ada juga pasal mengenai sanksi pidana atas kesalahan pelaksanaan kontrak. “Ini suatu hal yang aneh. Untuk persoalan yang sama ada penyelesaian perdata, tapi juga sanksi pidana,” ujarnya. Rudy berharap UU Jasa Konstruksi ini segera diamandemen.
Staf khusus Jaksa Agung, Syahrudi, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut menolak pendapat Nindyo dan Rudy. Menurutnya, tidak setiap sengketa kontrak konstruksi dijadikan kasus pidana oleh kejaksaan. Sengketa kontrak konstruksi akan melalui proses penyelidikan untuk menentukan perlu tidaknya hukum pidana digunakan. “Termasuk di dalamnya kita minta penjelasan dari para ahli konstruksi,” tegasnya.
Diskusi ini diselenggarakan Dewan Pengurus Pusat Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi). Tujuannya untuk mendiskusikan kekhawatiran banyak penyedia jasa konstruksi atas kriminalisasi beberapa rekan mereka dengan tuduhan korupsi. Harapannya, ada rekomendasi dari praktisi jasa konstruksi yang disampaikan kepada pemegang otoritas kebijakan.